Header Ads

Breaking News
recent

Tua Renta Sang Pejuang Seni

Ruangan yang berukuran tidak lebih dari 4 meter itu terlihat padat. Ada diantara mereka yang merias diri, berganti kostum ataupun sekedar ‘ngopi’ untuk menunggu waktu pentas dimulai. Hari itu, 10 Desember 2016 pentas Ludruk akan kembali digelar dalam bulan ini. Maklum saja pertunjukkan Ludruk tidak bisa didapati tiap minggu. Sanggar Ludruk Irama Budaya bertempat di Taman Remaja Surabaya. Lokasi yang menjorok kedalam dan agak jauh dari keramaian membuatnya cukup susah untuk dicapai, terutama bagi mereka yang baru sesekali datang ke tempat ini. Pemain di sanggar ini sebagian besar adalah laki-laki dan berumur diatas 40 tahun. Sehingga, untuk mengisi tokoh perempuan, mereka diharuskan merias diri dan berpakaian sebagaimana perempuan Jawa kebanyakan. Hal ini juga digunakan sebagai aksesoris humor dalam pertunjukan Ludruk, tidak terkecuali bagi Benyamin Sulkan.


Mbah Unyil atau Mak Unyil, begitulah biasanya Benyamin, kakek berumur 73 tahun asal Surabaya ini dikenal di lingkungan tempat tinggalnya. Saat itu beliau ia sedang asyik berkutat dengan alat rias dan konde yang hendak ia pasangkan dikepala. Benar saja, beliau merupakan salah satu pekerja seni Ludruk yang masih aktif hingga saat ini. Tidak banyak yang beliau bisa bagikan hari itu karena, ia sendiri sedang repot dengan persiapannya menuju panggung. Disana juga terdapat beberapa mahasiswa dan masyarakat awam yang sengaja mengabadikan sosok Mbah Unyil dengan kamera mereka masing-masing. Sesekali beliau memperlihatkan pose lucu dan satu ruangan tergelak bersama-sama. Akhir-akhir ini Mbah Unyil memang sering muncul di sosial media dan diburu oleh beberapa fotografer kota. Informasi tentang Mbah Unyil awalnya juga didapati dari beberapa akun instagram yang sudah lebih dulu mengunggah foto beliau.


Beberapa minggu kemudian, tepatnya Kamis, 5 Januari 2017 tempat tinggal Mbah Unyil berhasil ditemukan, setelah beberapa kali salah alamat di daerah Pulo Wonokromo, tepatnya di gang sebrang penjual rompi dan baju-baju tentara. Beliau ternyata tinggal disebuah kos-kosan sempit berukuran 1x2 meter persegi. Disekitarnya tinggal juga beberapa kawan yang sama-sama bermain Ludruk bersama beliau. Mereka yang ada disitu langsung mempersilakan siapapun yang ingin bertemu Mbah Unyil. Salah satu diantaranya pun tak enggan membantu memangil Mbah Unyil yang nampaknya sedang istirahat di kamarnya. Beberapa wajah diantaranya mudah dikenali karena pernah terlihat di pertunjukan Ludruk beberapa waktu lalu. Dibelakang tempat itu terdapat gudang yang dulunya digunakan sebagai sanggar Ludruk Surabaya pada tahun 90-an. Mbah Unyil keluar dari balik kamar sempit itu dengan senyum khas yang ia tunjukkan saat pertama kali bertemu dengan beliau. Ia mempersilahkan duduk dengan papan kayu seadanya yang digunakan sebagai kursi. Saat menyalami tangannya suhu badan beliau tinggi, matanya juga lebih sayu dari biasanya. Benar saja, beliau mengaku tidak enak badan dan sedang sakit batuk.



Bercakap-cakap dengan Mbah Unyil memerlukan tenaga ekstra, karena pendengarannya yang sudah tidak sebaik dulu. Ini dikarenakan beliau pernah mengorek telinga dengan gerakan yang kuat hingga merusak pendengarannya. Selain itu, tentu saja karena faktor usia nya yang sudah sangat lanjut. Mbah Unyil sebenarnya memiliki sanak keluarga yaitu seorang kakak di daerah Bagong, Surabaya. Namun, ia memilih hidup sendiri di kos-kosan ini sejak ia bergabung menjadi pemain Ludruk. “Kula piyambakan mawon” (saya sendirian saja) ujar Mbah Unyil dengan suaranya yang sayup-sayup. Hidup serba sendiri yang dilakoninya adalah pilihannya sejak ia masih muda. Hingga diusianya sekarang ia masih memasak makanannya sendiri, menyuci pakaian dan aktivitas rumah yang lainnya. Ia bahkan mengaku memilih untuk tidak berkeluarga dalam hal memiliki istri dan anak. Miris memang, karena ia mengaku tidak pantas memiliki seorang istri ataupun anak dengan pekerjaannya yang hanya sebagai pemain Ludruk dan tukang pijat. Penghasilan sepuluh ribu rupiah per-pentas dan tambahan dari upah pijat yang tidak menentu sangatlah tidak cukup jika harus dibagi dengan urusan keluarga. Belum lagi ia harus membayar sewa kos-kosan sebesar seratus ribu rupiah per-bulannya. Upah sekecil itu harus dipotong dengan uang transportasi angkot ke sanggarnya setiap kali akan pertunjukkan Ludruk digelar. Namun begitu, nampaknya Mbah Unyil merasa cukup hanya ditemani beberapa kucing yang bebas keluar masuk kamarnya dan terdapat beberapa sisa makanan kucing di depan kamar beliau.



Dari cara beliau menyampaikan ceritanya tak sedikitku nada mengeluh yang keluar dari mulutnya. Bagi beliau membagi kisah bukanlah hal yang patut dikasihani. Mbah Unyil sendiri memang mendedikasikan hidupnya untuk dirinya sendiri dan Ludruk. Ia mencari nafkah dari Ludruk dan membagikan tawa bagi para penontonnya. Mungkin begitulah sewajarnya seni dimaknai. “Ati kula seneng yen Ludrukan kuwi, ketingal kanca-kanca” (hati saya senang bermain Ludruk, bisa bertemu teman-teman lain) tukas Mbah Unyil dengan senyum mengembang. Mbah Unyil adalah salah satu contoh sosok penjuang seni yang makin redup keberadaanya di kota metropolitan Surabaya. Terus bermain meski upah minim, melestarikan satu-satunya yang ia miliki dan penopang hidup di hari tuanya, karena dengan mengeluh saja siapapun tidak akan dapat bertahan hidup.  (Te)



Theresia Christina Nuwa
071511533008

No comments:

Powered by Blogger.